Menjadi pendidik membuat hidup kita menjadi berarti. Walaupun
memang menjadi pendidik secara kesejahteraan belum bisa mencukupi kebutuhan. Namun
secara ketenangan mendidik adalah investasinya. Bila dihitung secara matematis
misalnya, ketika kita mengajari anak cara berwudzu, kemudian anak itu menjadi
dewasa dan kemudian mengajarkanlagi kepada generasi setelahnya. Tentu pahala
yang kita dapat akan berlipat ganda bukan. Contoh lain misal kita mengajari
anak menulis, kemudian anak itu menjadi dewasa dan kemudian menjadi penulis
yang handal, tentu pembelajaran yang kita lakukan telah membawa inspirasi
kepada banyak orang, dan masih banyak yang lainnya.
Namun memang kebanyakan orang akan memandang segala sesuatu
yang terlihat oleh mata saja. Saya pernah mempunyai teman,dia adalah guru
seangkatan saya, kami biasa membicarakan masalah tempat kami biasa mengajar,
namun yang selalu diobrolkaya selalu masalah finansial, memang hal itu tidak
dilarang, namun bila kita mengajar selalu dihantui oleh perolehan finansial
yang kecil maka keiklasan tentu tidak akan kita dapatkan (lawong buruh yang UMR
nya jutaan saja selalu tidak puas dengan UMRnya, lawong para pejabat yang
gajinya milyaran saja masih korupsi kok). Yang akan kita dapat malah kekecewaan
pastinya. Setelah beberapa waktu ternyata saya dengar lagi teman saya itu
sekarang malah beralih dari gur menjadi pekerja biasa, sungguh ironi sekali. Namun
ya sudahlah setiap manusia punya prinsip masing-masing bukan?
Kembali lagi kemasalah mendidik, beberapa waktu yang lalu
saya sempat share di blog tentang siapa yang paling bertanggung jawab terhadap
pendidikan anak. Di dalam artikel tersebut saya tuliskan bahwa yang paling
bertanggung jawab adalah semua pihak dilingkungan anak. Kalau dituliskan secara
hirarkis memang seharusnya yang paling utama adalah keluarga disusul oleh
lemabag pendidik dan yang tidak kalah penting adalah lingkungan. Kenyataan dilapangan
ternyata emang lembaga sekolahlah yang dianggap paling bertanggung jawab. Pada akhirnya
tentu hasilnya tidak maksimal, lembaga sekolah hakikatnya hanyalah
katalisatoranak untuk menjadi pribadi yang unggul, bila katalis dijadikan hal
yang dianggap paling bertanggung jawab tentu tidak pas rasanya. Mungkin memang
perlu adanya perombakan besar-besaran mengenai pendapat yang kurang benar
tersebut.
Posting ini saya buatkarena keheranan saya ketika saya
mencoba bertanya kepada anak kelas 2 MI setingkat SD yang belajar Prifat kepada
saya. Hal-hal yang sangat dasar seperti menyuruh sholat, melihat pekerjaan
anaknya, menyuruhnya bertutur kata yang baik, ternyata tidak dilakukan didalam
keluarga. Makanya tidak heran memang tugas pendidik menjadi berganda. Lawong dirumah
saja dibiarkan anaknya, bagaimana bisa maksimal anak pendidikanya disekolah.
Yasudahlah, bagi para pendidik tidak usah terlalu
membincangkan maslah seperti ini, cukup mendidik dan maksimalkan apa yang bisa
kita lakukan saja. Terus iklas dan berharap yang terbaik bagi kita, semoga
Alloh membimbing jalan kita wahai para pendidik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar